Rabu, 07 September 2011

Mudik sebagai Traveling Sosio-Spiritual

Makna apa yang bisa kita petik dari Lebaran dan relasinya dengan tradisi mudik yang setiap tahun terus berlangsung secara kolosal? Jika Idul Fitri-yang berarti "kembali ke fitrah", (lil idil fitri)-adalah sebuah perayaan kemenangan kaum muslim setelah sebelum penuh melaksanakan ibadah puasa, maka Lebaran adalah contoh manis tentang bagaimana idiom-idiom Islam-dalam konteks merayakan hari kemenangan itu-diterjemahkan secara kreatif ke dalam budaya Indonesia.



Mengutip Dr Jalaluddin Rakhmat (2001), Idul Fitri tidak persis sama dengan Lebaran. Karena Lebaran hanyalah sebentuk tradisi, yang secara sosio-kultural memang khas Indonesia. Sebab, tak cuma fenomena mudik yang ada dalam tradisi Lebaran, tetapi juga nyadran (ziarah kubur), bersilaturrahim (dengan keluarga, kerabat, tetangga, dan kenalan), bahkan jalan-jalan dan plesiran ke berbagai tempat hiburan.

Setidaknya terdapat tiga perspektif unik dalam perayaan Lebaran dan fenomena mudik yang menyertainya. Pertama momentum spiritual, yakni pemaknaan Idul Fitri secara keagamaan yang menempatkan titik nilai ibadah manusia terhadap Tuhannya, berupa hari kemenangan dengan gema takbir yang disunahkan.

Kedua, fenomena mudik sebagai momentum kultural. Inilah ciri khas Lebaran di Indonesia. Kota-kota besar negeri ini yang sebagian besar dihuni kaum urban memiliki mekanisme "jeda sosial", di mana menjelang perayaan puasa dan Lebaran mereka berbondong menuju kampung halaman, baik melakukan ritual nyadran, melepas rindu, berkeluh-kesah atau berbagi cerita bersama sanak-saudara.

Ketiga, mudik sebagai momentum peneguhan solidaritas sosial. Melalui zakat, sedekah, dan berbagi "rezeki" pada anggota sanak-keluarga, terutama yang tinggal di kampung halaman, menunjukkan bahwa fenomena mudik juga punya efek perekat kepedulian antarsesama.

Dalam perspektif modernisasi, mudik Lebaran bahkan memiliki makna yang lebih khusus. Ia terkait dengan dampak modernitas yang melahirkan sejumlah penyakit (sindroma) yang banyak menjangkiti kaum urban sebagai penghuni ruang modernitas kota. Mudik adalah cara kaum urban menebus penyakit-penyakit modernisme yang boleh jadi bersumber dari biaya ekonomi, sosial, maupun psikologis yang dilahirkan modernitas.

Sebab, modernitas yang menjadi tiang penyangga orientasi dan sikap hidup kaum urban telah mengubah norma dan tata nilai orang kota secara ekstrem. Salah satu yang menonjol adalah menguatnya semangat "economic animal" dan "hyper competition", yang berdampak pada perubahan pola pikir orang kota yang cenderung menghamba pada materi, berorientasi pragmatis, bersikap hedonis, berlaku eksklusif-individual, dan berwatak intoleran.

Modernitas telah menegasi struktur sosial mapan (relasi sosial yang intim, saling percaya, dan penuh kebersamaan) yang menjadi ciri masyarakat desa (rural society). Dalam struktur masyarakat modern, individu disibukkan dengan tanggung jawab terhadap dirinya, bahkan tak jarang melupakan tanggung jawabnya kepada orang tua, keluarga, karib, kerabat, atau kampung halaman.

Biaya psikologis modernitas, menyitir Theodore Roszak (1995), telah membawa manusia kota pada gejala mekanisasi, regimentasi, dan otomatisasi kepribadian. Lewis Yablonsky (2001) menyebut manusia modern sebagai "robophats", yang telah kehilangan otentisitas dan spontanitas.

Sementara Herbert Marcuse melihat manusia modern sebagai "one dimensional man", yang kerap berlaku irasional dan kehilangan kesadaran kritis-reflektifnya.

Pembangunan yang berjalan cepat dan intens, telah menyingkirkan sejumlah keterampilan, menghilangkan sejumlah besar lapangan kerja, bahkan menggusur rumah dan lingkungan. Sarana-sarana kehidupan kota-seperti perkantoran, pasar swalayan, hipermart, dan jalan layang-tumbuh bersama kehadiran perkampungan kumuh dan zona-zona kejahatan.

Konglomerat bertambah, begitu pun orang melarat. Modernisasi telah menggusur nilai-nilai otentik dan tradisi asli milik rakyat yang kerap dituding "tradisional" serta mengerdilkan manusia di hadapan mesin-mesin birokrasi dan keangkuhan dunia industri.

Kota-kota besar-yang menjadi jantung modernisasi-praktis telah menjadi rumah sakit jiwa besar bagi penghuninya. Dengan mudik, orang-orang yang mengalami dahaga spiritualitas dalam hiruk-pikuk kehidupan kota yang materialistik, kembali mereguk makna masa lalunya, merajut kembali otentitas nilai-nilai kemanusiaannya, di tanah leluhur.

Mereka ingin sejenak meninggalkan wajah-wajah kota yang gersang dan garang, untuk menikmati kembali wajah-wajah sedulur di kampung halaman yang ramah dan penuh kehangatan. Sepanjang ingatan kolektif kita, sejak republik ini berdiri sebagai negara merdeka, sukar menemukan zaman di mana kondisi politik, ekonomi, sosial, dan psikologis bangsa begitu kompleks dan rumit seperti berlangsung saat ini.

Kesulitan yang dihadapi masyarakat kita, terutama yang hidup di kota, merupakan akumulasi dari berbagai masalah sejak dari huru-hara politik di banyak pemilukada, kesulitan ekonomi yang terus meningkat, konflik sosial yang kian meluas dan eksesif, sampai kepada trauma sosio-psikologis akibat deraan bencana alam yang terus terjadi. Wajar jika kaum urban kota mengalami tekanan psikologis yang terwujud dalam sikap kecewa, cenderung marah, mengidap stress, dihantui depresi, bahkan frustasi hidup.

Dalam orientasi hidup masyarakat yang kota yang kian pragmatis, hedonis, dan konsumeris, harkat dan martabat manusia semata ditentukan dari kekuasaan, jabatan, status sosial, dan uang. Di kota-kota besar, mudah ditemui tukang asongan atau pedagang kaki lima digusur tanpa alasan, tunawisma mati mengenaskan di bawah kolong jembatan, atau jalan raya dibiarkan berlubang hingga merenggut nyawa puluhan pengguna jalan.

Dalam konteks di atas, mudik bisa dimaknai sebagai bentuk terapi massal modernitas. Modernisasi telah mengubah makna relasi sosial dan komunikasi individual menjadi bersifat artifisial. Salah satu yang tergerus oleh modernitas adalah tata nilai relasi sosial yang intim, toleran, jujur, saling percaya, dan penuh kebersamaan.

Pada aras lain, mudik juga bisa diartikan sebagai ikhtiar kaum urban menautkan dimensi ukrawiiyah dan insaniyah; menyemai nilai-nilai spiritualitas dalam konteks solidaritas sosial. Ini adalah upaya memaknai hikmah Lebaran sebagai "kembali ke fitrah", jalan untuk menuntun manusia modern menuju titik kesadaran reflektif sebagai mahkluk sosial.

Inilah ontologi mudik kaum urban yang memaknai Lebaran sebagai momen sekaligus oase untuk menemukan kembali ketenteraman setelah sekian lama dibombardir desakan hidup yang penuh gesekan, konflik, intrik, dan persaingan. Melalui tradisi ritual tahunan ini, kaum urban menemui titik rekonsoliasi spiritual untuk meraih kemuliaan, mendapuk spirit kemanusiaan, merajut kembali kebersamaan, dalam sebuah ritus sosial bernama mudik Lebaran .

Sayang, dari jutaan pemudik itu, mereka umumnya adalah orang-orang kecil, yang oleh Romo Mangunwijaya kerap disebut sebagai bagian dari "generasi yang dikorbankan" atas nama pembangunan. Mereka yang hidupnya terhisap, tertindas, putus asa, dan tidak cakap memperbaiki nasib dalam gerusan tuntutan hidup kota besar yang kompetitif dan penuh muslihat, memaknai mudik sebagai traveling psiko-spiritual; wujud nyata dari "kembali ke fitrah"-nya, sebagai makhluk sosial sekaligus spiritual.

Jadi, mudik bukan semata rindu kampung halaman dan sekedar ajang hiburan. Dalam makna epistemologisnya, mudik telah menjadi sebentuk terapi psikologi massal kaum urban yang hidup di sentra-sentra pertumbuhan, kawasan industri, dan kota-kota metropolitan yang telah mengalami berbagai patologi sosial (alienasi, marjinalisasi, dan dehumanisasi).

Alangkah indahnya bila para konglomerat, politisi, birokrat, dan para eksekutif muda juga ikut mudik Lebaran, bersilaturahim, dan nyadran di kampung halaman; atau singgah ke kampung teman. Mungkin, jika kedua kelas berkuasa ini kembali ke kota dan bertemu kelas buruh dan pekerja informal, mereka akan lebih saling mengerti dan memahami, tak lagi menjadi robot ekonomi yang saling sikut, saling peras, dan saling tindas. (Launa, SIP MM)

Penulis adalah dosen FISIP Universitas Satya Negara Indonesia;

Sumber: http://www.medanbisnisdaily.com/news/read/2011/08/29/52907/mudik_sebagai_traveling_sosio-spiritual/#.TmeF9W-2uAk

0 komentar:

Posting Komentar

Template by:

Free Blog Templates